Monday, January 10, 2011

Kembalinya Feno


            “Aww!” pekik Arin. Matanya menyipit, berusaha menahan sakit di lututnya.
            Ia jatuh di halaman sekolah, ada seseorang yang menabraknya dari belakang. Tapi ia sendiri tidak tahu siapa. Kepalanya berbalik dan terlihat keget. Feno. Ups, seperti Feno.
            “Fen…”
            “Maaf, gue nggak sengaja!” potong cowo itu. Matanya memandang lurus ke depan. Ia sama sekali tidak melihat sosok Arin di sampingnya.
            Ia pergi. Begitu saja. Hanya berkata ‘maaf’ semaunya.
            “Dia? Judes amat, sih! kalo Feno, jelas nggak mungkin!” gumam Arin.
            Feno, cowo blesteran Jerman-Indo adalah teman masa kecilnya. Feno sering menghabiskan waktunya bersama Arin. Perpisahan dimulai ketika mereka duduk di kelas satu SMP. Feno memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Jerman, Negara ayahnya. Sekarang mereka sudah kelas dua SMA. Kurang lebih sudah empat tahun mereka berpisah dan tidak ada komunikasi di antaranya.
            Pikiran Arin kembali ke waktu sekarang. Ia menepuk-nepuk pipinya sampai merah menyaingi udang rebus. Dengan cepat, ia kembali bangkit dan memberesi buku-bukunya yang berserakan.
***
            “Rin, lo tau cowo baru di kelas sebelas IA 2?” tanya Ginna, sahabatnya.
            “Nggak!” balasnya cuek sambil menyeruput jus mangganya.
            “Iiih, nyesel lo kalo sampe nggak tau! cowo itu ganteng banget tau? Blesteran!” ucap Ginna sekali lagi. Kali ini Arin agak simpatik.
            “Blesteran apa?” tanyanya penasaran.
            “Jerman-Indo,”
GLEK!
            Jus mangganya serasa susah untuk didorong ke lambung. Untuk orang normal mungkin dengan gampang meneguknya.
            Arin teringat akan pertemuan dengan seorang cowo pagi tadi. Mukanya mirip Feno, blesterannya pun juga tampak terlihat.
            “Rin, Arin! dia, dia!” Ginna heboh sambil mengguncang-guncangkan tubuh Arin. Lamunan Arin pun buyar seketika.
            “Feno!” katanya pelan. Cowo itu masih terdiam, ia asik dengan i-podnya sambil duduk dan menunggu pesanan. “Feeennnooo!!!” teriak Arin. Ia tak sadar sudah membuat semua pengunjung kantin menolehnya.
            Cowo yang dipikir Feno oleh Arin menoleh, tatapannya dingin, tak ada reaksi apapun yang terlihat.
            “Lo? Feno kan?” tanya Arin meyakinkan.
            “Hmm…” sahutnya. Judes. Batin Arin.
            “Gue Arin?!”
            “Arin?” ulangnya sambil menerawang ke atas. “Who’re you? Aku nggak tau yang namanya Arin.” Katanya agak susah.
            “Jahat lo, ya? lo nggak kenal sama gue? Apa lo pura-pura nggak kenal, hah?” amuk Arin. Cowo itu malah makin bingung. “Lo Feno, kan?”
            “Iya, gue Feno!” katanya dan berlalu. I-podnya masih menggantung di telinganya.
            Arin diam, cowo yang selama ini membuat dirinya sadar telah jatuh cinta, malah tidak mengenal dirinya setelah sekian lama tidak bertemu.
***
            BRUK!!
            Arin terjatuh lagi. Lagi. Tadi pagi ia jatuh, dan sekarang jatuh lagi. Ada seseorang yang menabraknya lagi dari arah belakang. Arin menoleh ke belakang.
            “Heh! Lo lagi? Feno, apa sih mau lo? Tadi pagi lo udah nabrak gue, sekarang lo nabrak gue lagi! lo pura-pura nggak kenal gue, tapi kelakuan lo gini ke gue!” Arin emosi, matanya berair, tapi segera dibendung olehnya.
            “Hm… sorry,” kata Feno pelan. Lagi-lagi, matanya tidak menoleh secuil pun ke arah Arin.
            Arin berjalan gontai ke pintu gerbang, tempat di mana ia selalu menunggu jemputan Pak Mat, sopir pribadinya. Di situ ada Feno, mungkin dia juga menunggu jemputan. Terlihat dari tingkahnya yang berulang kali melihat jam tangan.
            “Fen,” sapa Arin. Kali ini dengan suara yang lembut berharap bisa menaklukan hati cowo itu.
            “Lo lagi, sebenernya lo siapa, sih?”
            “Gue Arin. Temen lo waktu kecil. Lo lupa?”
            “Rumah lo di mana?” tanya Feno.
            “Griya Nusantara,” jawab Arin lemah dan meninggalkan Feno. Kebetulan, Pak Mat sudah ada dan bersiap membukakan pintu untuk Arin.
            “Griya Nusantara? Bearti dia tetangga.” Gumam Feno. Pikirannya kacau, terbesit beberapa momori tentang Griya Nusantara sekitar bertahun-tahun yang lalu.
            Kacau. Pikirannya kacau, ia terlalu keras berpikir. Seolah-olah ingin cepat-cepat tahu tentang semua itu. Arin, Griya Nusantara, masa kecilnya di sini. Di Indonesia.
            Feno terlalu keras berpikir, entah dari mana asalnya, banyak kunang-kunang di sekelilingnya. Ini masih siang, mustahil kunang-kunang dapat terlihat jelas. Pandangannya kabur, dan hitam. Tubuhnya ambruk, ia dapat mendengar samar-samar banyak orang berlarian, tapi ia tidak mampu melakukan apa-apa dan akhirnya tidak sadarkan diri.
***
            Arin diam di ranjangnya, matanya sembab. Ia terlalu lama menangis, Feno tidak mengenalinya, bahkan lupa dengan namanya. Menginjak kelas dua SMP, Arin mulai sering memikirkan Feno, berulangkali membuka album foto bersama Feno dan kadang mengirim e-mail untuk Feno walaupun hanya balasan singkat yang diterimanya. Terakhir, Feno mengatakan akan pulang ke Indonesia. Hal itu membuat Arin senang, dan menunggu.
            Lama Arin menunggu sampai ia lulus SMP, tapi sosok Feno tak kunjung datang. Bahkan, Feno sudah tidak lagi membalas e-mailnya. Arin terus menunggu dengan sabar, bahkan beberapa kali ia menolak cinta dari cowo lain yang menyukainya.
            Ia mulai putus asa dan berusaha melupakan Feno. Mungkin di Jerman banyak cewe yang mencuri hati Feno sehingga melupakan Arin yang telah lama menanti. Sekarang, sosok yang ditunggu ada, tapi pupus sudah harapan Arin. Toh, Feno sudah tidak lagi kenal dengan dirinya.
            “Rin, makan siang dulu!” teriak Bunda dari arah ruang makan. Arin mengusap mata dan pipinya. Ia tak mau Bunda tahu kalau ia habis menangis. Menangisi orang yang telah jadi mimpi baginya.
            Arin keluar kamar dengan muka yang dibuat-buat. Ia sedih, sakit, dan kecewa. Tapi mukanya memaksakan dia untuk terlihat ceria di hadapan Bunda. Bunda pernah berkata, bahwa beliau tidak ingin melihat putri satu-satunya menangis karena seorang cowo dan karena cinta.
            Keluarga Arin sudah tidak utuh lagi. Bukan karena perceraian, melainkan karena perselingkuhan Ayah Arin yang berakhir di liang lahat. Bunda terlalu sabar dan tetap mempertahankan keluarganya demi Arin walau sakit, namun semuanya percuma, Ayah pergi berlibur bersama keluarga barunya dan tewas dalam kecelakaan pesawat.
            “Rin?” panggil Bunda sambil melambaikan tangannya di depan muka Arin. Arin tersentak, ia hanya tersenyum dan mengaduk-aduk makanan yang ada di meja.
            “Ada apa, Rin? Kok dari tadi Bunda liat, kamu murung terus.” Tegur Bunda.
            “Nggak ada apa-apa, Bunda! Arin cuma flu ringan,” jawab Arin bohong.
            “Nanti malam, kita ke rumah Tante Lessy, yuk?” ajak Bunda kemudian.
            Arin diam mencerna kata-kata Bunda tadi. Tante Lessy? Nama itu seperti tidak asing lagi. Bukan nama yang baru ia tahu, atau ia dengar.
“Tante Lessy, Nda?”
“Iya, Maminya Feno!”
            “Hah?” Arin tercengang, “nggak mau, ah. Percuma Bunda,”
“Percuma? Apanya?”
“Ng… nggak apa-apa, kok!”
***
Malam hari, Bunda dan Arin datang ke rumah Tante Lessy atau bisa dibilang rumah Feno. Tapi Arin agak berat mengucapkan nama ‘Feno’ dalam batinnya.
Mereka disambut baik oleh para pembantunya. Salah satu pembantu memanggil sang tuan  rumah. Bunda tersenyum sumringah, namun Arin malah murung.
“Ayun!” sapa Tante Lessy.
Bunda dan Tante Lessy bercipika-cipiki dengan riangnya. Melepas rindu antara dua tetangga ini. Yeah, mungkin saja. Batin Arin.
“Arin? Kamu makin cantik aja,” puji Tante Lessy. Arin tersenyum simpul, menyalami Tante Lessy dan mencium punggung tangannya.
“Apa kabar, Tante?” sapa Arin ramah.
“Baik. Kamu udah ketemu Feno? Dia kan satu sekolah sama kamu,” tanya Tante Lessy. Arin hampir menangis, tapi ditahannya.
            “Oya? Kok kamu nggak pernah cerita sama Bunda, Rin?” Bunda menimpali. Arin diam dan tak menggubris pertanyaan Tante Lessy.
“Feno tadi pingsan sepulang sekolah!” ucap Mami Feno itu.
“Ha? Bukannya dia tadi sama Arin, Tante?” Arin tampak terkejut, dia sama sekali tidak tahu detik keberapa Feno pingsan.
“Tante juga nggak tahu, mungkin karena banyak mikir terlalu keras. Jadi sampai pingsan.”
“Tapi, Feno baik sekarang? Udah dibawa rumah sakit?” Bunda tak kalah kaget dengan Arin. Tante Lessy hanya mengangguk kecil dan menghela nafas.
“Rin, Feno masih kenal sama kamu?” tanya Tante Lessy pelan, matanya terlihat sedih.
“Ng… nggak, Tante. Feno bahkan nggak pernah dengar nama ‘Arin’.” Jawab Arin pelan. Air matanya mengucur ke pipinya, namun segera diusap oleh Bunda.
“Arin, Bunda nggak mau kamu menangis!” perintah Bunda. Arin mengangguk dan mengusap air matanya, kini ia terlihat tegar. Hanya terlihat tegar, bukan tegar yang sebenarnya.
“Feno mengalami kecelakaan waktu kelas dua SMP dan dia amnesia. Setelah itu, dia nggak kenal dengan orang-orang yang jarang di sampingnya. Dia hanya kenal sama Tante, Rin. Bahkan, Papinya sendiri juga nggak kenal!” katanya.
Arin jadi teringat, saat Feno bilang akan ke Indonesia itu waktu Arin kelas dua SMP. Dan setelah itu, mereka putus hubungan. Dan saat mereka bertemu, sikap Feno pun seakan-akan lupa pada Arin. Pantas! Kata Arin dalam hati.
“Kata dokter, amnesianya bisa sembuh. Jadi, Tante terus berusaha membuat Feno ingat semuanya. Tentang keluarganya, terkadang dia sampai pingsan karena terlalu keras berusaha meningat.” Tutur Mami Feno. “Nggak lama itu, Feno sudah bisa mengingat semuanya. Walaupun teman-temannya kadang juga masih lupa!” lanjutnya.
“Jadi, Feno nggak bisa ingat lagi sama Arin, Tante?” tanya Arin sedih.
            “Bisa. Pasti bisa! Sebelum kecelakaan, Feno pernah bilang sama Tante, kalau dia ingin sekali ke Indonesia dan bertemu dengan Arin.” Kata Tante Lussy dengan nada yang mulai ceria.
“Kamu berusaha mengingatkan apa yang pernah terjadi sama kamu dan Feno. Kenangan yang bisa membuat Feno ingat lagi!” lanjutnya.
Arin mulai percaya diri. Ia yakin bisa membuat Feno mengingatnya lagi, dan Arin sudah menyusun rencana, bahwa ia akan menyatakan perasaannya pada Feno.
***
Pagi ini, Arin bangun lebih awal. Selain ini adalah hari minggu, Arin ada janji dengan Tante Lussy untuk mengajak Feno keliling komplek dan menceritakan semua yang pernah terjadi.
Arin menyiapkan semua yang perlu dibawa. Mulai dari album foto sampai boneka beruang imut yang pernah diberikannya dari Feno.
“Tante nggak ikut?” tawar Arin saat Feno sudah siap berpetualang denga Arin. Wajahnya masih linglung. Konyol! Arin tertawa kecil.
“Nggak, ah. Tante mending main sama Bunda kamu! Kalian berdua, hati-hati ya?” saran Mami Feno. Feno mengangguk tak yakin.
Arin dan Feno berjalan-jalan mengelilingi komplek. Saat mereka melewati lapangan tennis, Arin mencoba menceritakan pengalamannya saat Feno kalah telak bertanding dengan Arin. Namun Feno tetap menggeleng tak tahu.
Lama Arin dan Feno memutari komplek. Arin sudah putus asa, ia hampir menangis, tapi ditahannya. Akhirnya, tujuan terakhir mereka adalah di danau kecil yang ada di komplek.
Arin mengeluarkan semua yang ada di tasnya. Feno mengernyitkan dahi, bingung dengan semua kelakuan cewe ini.
“Fen, gue udah capek gini terus, lo nya juga nggak ngerti-ngerti juga!” kata Arin membuka keheningan di antara mereka.
“Itu kok ada foto gue!” Feno mulai membuka mulut. Di ambilnya semua album itu, lalu membolak-balik.
Feno tersenyum saat melihat potret dirinya yang masih memegang dot, padahal sudah berumur sekitar lima tahun. Lalu saat Arin menangis dan terlihat ada es krim di tangan Feno. Banyak foto-foto lucu tentang mereka.
Muka Feno berubah menjadi serius, Arin mencoba melihat foto apa yang sedang dilihatnya. Foto itu, foto terakhir mereka. Arin berdiri di samping tubuh Feno yang kekar. Feno menggendong tas ransel besar. Dan background nya adalah bandara. Tepat saat Feno akan berangkat ke Jerman dan menyempatkan diri berfoto bersama Arin.
Feno memegang kepalanya, mungkin dia sedang berusaha mencari kebenaran foto itu. Memori diotaknya dipaksa untuk menampilkan kejadian yang lebih banyak. Arin paham sikap Feno yang satu ini dan menghentikan agar Feno tidak sampai pingsan.
“Fen, jangan dipaksain.” Kata Arin, nada suaranya terdengar kecewa. Ia berpikir akan susah membuat Feno seperti yang dulu lagi.
Arin mengeluarkan boneka beruangnya. Feno menatap tajam boneka itu. Arin sudah putus asa, usahanya sia-sia. Arin berdiri, pandangan Feno membuntutinya. Tak disangka, Arin malah menceburkan diri ke danau sehingga seluruh tubuhnya basah.
Feno teringat sesuatu, ia pun mengikuti Arin yang menceburkan diri ke danau. Mereka menikmati saat-saat itu. Bermain air, saling mencipratkan air dan pura-pura menjadi ikan hiu pemangsa dengan menyelam dan memegang jail kaki yang ada di dalam.
Saat matahari hampir menghilang, Arin dan Feno menyudahi permainan konyol ala anak-anak itu. Wajah mereka tampak sangat gembira. Apalagi Arin. Walaupun Feno tidak mengingatnya lagi, tapi ia senang bisa menghabiskan hari minggunya bersama Feno.
“Rin,” panggil Feno.
“Ya?” jawab Arin singkat. Ia sedang sibuk memasukan barang-barangnya ke dalam tasnya.
“Kayanya… gue udah inget semuanya, deh! Mulai dari nama lo, rumah lo, Bunda lo, atau semua yang pernah kita lakuin!” ujar cowo blesteran itu.
“Oya? Thank’s banget, Fen! Gue sayang lo!” kata Arin. Wajahnya memarah, saking senangnya, Arin sampai tak sadar ia sudah ada dipelukan Feno. Cowo yang selama ini ia tunggu.
Setelah Arin sadar, ia segera melepas pelukan itu. “Sorry, gue nggak sadar!”
“Nggak apa-apa, Rin. Gue seneng bisa meluk lo, bodohnya gue! Kenapa gue nggak bisa nginget lo. Padahal, semenjak gue ngerti cinta, gue tuh milih lo buat ada di hati gue. Padahal, cewe-cewe Jerman banyak yang lebih dari lo, loh!” canda Feno. Arin menyubit pelan pinggul Feno.
“Hehe, dasar cowo aneh lo! Yang penting, lo sekarang udah inget gue lagi,”
“Mm… Rin, gue sayang sama lo, gue cinta sama lo, gue harap lo mau jadi cewe gue. Biar kalo gue amnesia lagi, gue inget terus sama lo!” kata Feno akhirnya.
            “Gue juga sayang sama lo, Fen!” jawab Arin malu-malu.
Mereka berdua saling bertatapan dan tertawa geli.
“Eh, pulang, yuk? Udah malem nih, nggak enak kalo pacaran sampe malem-malem gini.” Kata Feno asal. Arin menatapnya aneh.
“Pacaran? Kita kan temen,”
“Oooh, temen. Kalo temen, ngapain gue bilang kaya gitu setelah gue sadar udah inget semuanya?” sahut Feno.
Arin tertawa kecil, “iya deh, sekarang kan kita udah bukan temen lagi. Lebih dari sekedar temen,”
Apa yang telah Arin lakukan adalah semata karena cintanya pada Feno. Selagi bisa diubah, kenapa kesempatan itu tidak digunakan sebaik-baiknya?
***