Obyek wisata yang satu ini, sangatlah berkesan bagi kami, siswa SMA Negeri 1 Cilacap yang sedang melaksanakan study lapangan. Ketika kami baru saja memasuki obyek tersebut, puluhan bahkan ratusan monyet menyambut dengan suara yang khas dan tingkah laku yang menggelikan namun bisa menimbulkan ketakutan para siswa khususnya anak perempuan.
Menurut bapak penjaga Situ Karangkamulyan, monyet-monyet tersebut dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Kelompok monyet depan.
b. Kelompok monyet tengah; dan
c. Kelompok monyet belakang.
Itu semua dibagi berdasarkan letak di mana monyet itu berada, misal di depan
setelah pintu masuk, di sepanjang perjalanan, atau di akhir perjalanan
mengelilingi Situ Karangkamulyan. Beliau juga menuturkan, monyet tersebut
berjenis yang sama dan ada satu lagi alasan mengapa monyet-monyet tersebut
dikelompokan. Semua dikarenakan jika mereka bersatu, maka mereka akan saling
bertengkar. Dan satu pengetahuan yang kami dapat, ‘lutung’ disebut juga dengan
monyet hitam.
Setelah kami berjalan melewati
monyet dan berusaha menyembunyikan makanan yang kami bawa agar tidak dirampas
si monyet, kami menuju tempat sejarah di obyek tersebut. Udara di sana
sangatlah sejuk, namun meskipun rimbun dengan pepohonan, nampaknya tidak
membuat kami merasa sejuk. Sekujur tubuh kami tetap berkeringat, padahal jaket
yang kita kenakan sudah dilepas. Mungkin ini semua akibat banyaknya orang di
sana dan mm... atau mungkin akibat dari pemanasan global ya? Tapi, itu tak
membuat semangat kami luntur begitu saja.
Kami meneruskan perjalanan, dan tak
begitu lama kami berjalan, sampailah di tempat bersejarah pertama yaitu ‘Pancalikan’ atau biasa disebut dengan singgasana. Pancalikan merupakan batu
bertingkat berbentuk segi empat yang digunakan untuk tempat pemujaan. Di sana
ada pemandu yang bersedia menjelaskan kronologi tempat ini, sayangnya karena
kami sudah tertinggal jauh, kami hanya mendapat sedikit rekaman langsung dari
kakak pemandu itu. Dan susahnya lagi, untuk dapat merekam apa yang dibicarakan
oleh kakak pemandu harus rela berdesakan dengan yang lain dan harus rela
berdiri ditemani sinar matahari yang cukup membuat badan semakin berkeringat.
Itu bukan masalah, yang penting kami bisa mendapat informasi meskipun hanya
sedikit.
Lepas dari pancalikan, kami
meneruskan perjalanan kami berikutnya. Karena jaraknya lumayan jauh, kami
menyempatkan diri untuk mencatat tanaman apa saja yang ada di sana untuk tugas
mapel biologi. Kami juga sempat bertanya langsung dengan bapak penjaga Situ
Karangkamulyan.
Dari pancalikan, kami jalan terus
dan belok ke kiri. Akhirnya, kami sampai di lokasi selanjutnya yaitu ‘Sahyang Bedil’. Sahyang bedil
merupakan tempat penyimpanan senjata. Pintu sahyang bedil menghadap ke utara
dan di depan pintu masuk terdapat struktur batu yang berfungsi sebagai sekat.
Di dalam sahyang bedil terdapat dua menhir yang memperlihatkan tradisi
megalitik.
Tak jauh dari situ, tepatnya di
sebelah persis sahyang bedil terdapat tempat ‘Penyabungan Ayam’ yang kira-kira hanya berjarak 5 meter saja.
Penyabungan ayam merupakan sebuah ruangan terbuka yang letaknya lebih rendah
dari sahyang bedil. Masyarakat sekitar berpendapat tempat ini untuk penyabungan
ayam Ciung Wanara dan ayam raja. Si sekitar tempat penyabungan di kelilingi
pohon yang besar dan tempatnya sangat teduh tak kalah dengan tempat-tempat
sebelumnya.
Setelah di rasa cukup untuk
melihat-lihat, kami naik ke atas kembali untuk meneruskan perjalanan. Dari
tempat penyabungan ayam kami berjalan lurus dan berbelok ke kanan. Ada obyek
yang membuat kami tertarik dan menarik kami untuk berhenti sebentar sekedar
untuk berfoto. Sebuah pohon tua yang sangat besar. Tinggi dan diameternya cukup
untuk membuat satu rumah mungil. Tak banyak daun di sana namun sangat membuat
kami semua terkagum-kagum. Bentuk dari pohonnya unik dan jarang ditemui di
Cilacap. Nama pohon itu adalah binung.
Kami berfoto layaknya artis yang sedang menjalanin masa pemotratan. Yah,
menjadi artis sekejap tidak dilarang kan?
Puas kami berfoto dengan pohon yang
cantik itu, kami berjalan lurus terus dan jaraknya sangat jauh dari tempat
sebelumnya. Kami juga harus mendaki sisi tangga yang masih dalam masa
pembangunan. Itu sangat licin dan becek akibat turun hujan. Pendakian itu
menuntut kami agar terus waspada dan hati-hati, sebab jika kita lengah bisa
jadi terpelesat bahkan terjatuh di jurang kecil di bawahnya. Kami juga harus
merelakan sepatu kami kotor, padalah kami sudah berhati-hati supaya tetap
bersih agar di Asia Plaza nanti penampilan kami tetap oke.
Di tengah perjalanan, kami
dikejutkan dengan penemuan seekor kaki seribu yang ukurannya besar di bawah
pohon. Tentu itu sebuah obyek pemotretan yang bagus.
Sampailah kami di lokasi
selanjutnya, ‘Lambang Peribadatan’.
Ini merupakan sebagian dari kemuncak, masyarakat sekitar menyebutnya sebagai
stupa. Oh iya, untuk mencapai tempat ini, butuh tenaga yang kuat loh. Sebab,
jika kami tidak memiliki stamina yang baik, bisa-bisa ambruk di tengah jalan.
Bersabarlah sebentar, karena kami
akan mencapai puncak dari tempat bersejarah dari Situ Karangkamulyan ini. Dan
sampailah di lokasi terakhir ‘Pamangkonan’.
Setelah sampai di sana, kami duduk sebentar di kursi kaya yang tersedia. Teman,
jika kalian akan makan atau minum, hati-hati ya. Puluhan monyet siap menyerang
makanan yang kita bawa, gerak-geriknya lincah sekali loh. Sebagian dari teman
satu kelompok masih tertinggal di belakang dan sebagai tim yang kompak, kami
harus menunggu anggota lainnya. Banyak teman-teman kita yang sedang asyik
berfoto di sana. Kami? Sudah cukup lelah untuk narsis. Hehe.
Dan sampai di sini cerita kami di
lokasi Situ Kamulyan/Ciung Wanara. Pengalaman yang indah semenjak kami
bersekolah di SMA Negeri 1 Cilacap.
Sumber : Kelompok Study Lapangan X-A ; Dewi A, Dinar P, F RLina F, Fisca A, MP Regina, Rosmawati, Vertika A
Penyusun : F RLina F (bidang mapel B. Indonesia)
Penyusun : F RLina F (bidang mapel B. Indonesia)